ANAK jalanan adalah sebuah istilah umum yang
mengacu pada anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan. Tapi
hingga kini belum ada pengertian anak jalanan yang dapat dijadikan acuan
bagi semua pihak. Di tengah ketiadaan pengertian untuk anak jalanan,
dapat ditemui adanya pengelompokan berdasar hubungan mereka dengan
keluarga.
Salah satunya adalah anak yang menghabiskan seluruh atau
sebagian besar waktunya di jalanan dan tidak memiliki hubungan atau
memutuskan hubungan dengan keluarganya. Aktivitas sekumpulan anak
jalanan yang di Kota Semarang memiliki ciri berpakaian lusuh, hidup di
jalan, usia remaja dan biasanya tidak mengenakan alas kaki alias nyokor
saat ini terus merebak.
Khususnya di pusat-pusat kota dan di
jalanan, keberadaan mereka sangat mudah dijumpai. Tapi sayangnya, tak
sedikit di antara mereka yang perilakunya meresahkan warga. Warga
Kampung Palgunadi, Kelurahan Bulu Lor, Semarang Utara misalnya, banyak
warga yang mengaku resah akibat kampungnya menjadi tempat berkumpul anak
jalanan.
Selain nongkrong sampai larut malam, para ABG tersebut
juga kerap menggelar pesta minuman keras (miras). “Kalau sudah kumpul
banyak, apalagi sampai ada yang bawa miras dan minum di sekitar taman
perempatan Palgunadi pasti suasana jadi ramai. Ini sudah mengganggu
ketenangan warga yang ingin istirahat,” kata Winarto, warga Palgunadi
saat acara reses Wakil Ketua DPRD Kota Semarang Supriyadi di Kantor
Kelurahan Bulu Lor, Kecamatan Semarang Utara, Jumat (4/5).
Dari
pengamatan warga, rata-rata para ABG tersebut berasal dari luar
wilayahnya. Mereka mulai berdatangan ke taman Palgunadi sekitar pukul
19.00 WIB dan bubar jelang pagi. Berulangkali warga sudah meminta untuk
tak beraktivitas di daerah itu, namun peringatan itu tak digubris.
“Kami
minta perhatian dari para petugas keamanan, khususnya dari kepolisian,
agar bisa menertibkan anak jalanan yang semakin banyak. Tak hanya di
kampung ini, tapi juga di daerah lain,” ujarnya.
Berbuat Onar
Tak
hanya di daerah Bulu Lor, fenomena anak jalanan juga merebak di
wilayah-wilayah lain di Kota Semarang. Kekhawatiran warga atas aktivitas
anak jalanan ini memang bukan tanpa alasan. Track record remaja yang kebanyakan putus sekolah itu cukup nggegirisi.
Selain
kerap membuat keonaran dengan melakukan pemalakan sejumlah pelajar usai
jam sekolah, mereka juga kerap adu fisik dengan kelompok lain.
Khususnya saat digelar konser musik di tempat umum. Pihak kepolisian
juga kerap menangani kasus kriminal jalanan yang melibatkan di antara
mereka.
Wakil Ketua DPRD Supriyadi meminta persoalan ini menjadi
perhatian serius aparat kepolisian. Sudah tidak sekali dua kali para ABG
dengan ciri tertentu ini membuat keonaran dan terlibat aksi pidana
jalanan. Pihaknya juga meminta peran aktif dari Dinas Pendidikan untuk
mengantisipasi semakin banyaknya remaja yang memilih turun ke jalan.
“Yang
terpenting adalah bagaimana peran keluarga, khususnya orang tua. Karena
tak bisa dipungkiri, rata-rata anak jalanan ini adalah mereka yang
berasal dari keluarga broken home. Mereka tidak mendapatkan perhatian di keluarganya dan akhirnya mencari pelampiasan di jalanan,” kata dia.
Belum
lama ini, Kapolrestabes Kota Semarang Kombes Elan Subilan mengakui
tentang fenomena merebaknya anak jalanan. Salah satu yang menonjol dan
pernah ditanganinya adalah kasus geng cokor. Diakuinya pula, perilaku
gang cokor cukup meresahkan masyarakat.
Hal itu, kata dia, dilihat
dari tingkah laku serta sebab akibat yang dilakukan pada komunitas
tanpa alas kaki ini. "Perampasan, pengroyokan serta tindak kriminal
jalanan lain acap dilakukan oleh mereka (geng cokor-red)," katanya.
Menurutnya,
anggota geng cokor berjumlah sekitar ratusan, rata-rata berusia antara
14 hingga 23 tahun dan sering mangkal di jalanan maupun tempat lain yang
nantinya dijadikan base camp atau tempat berkumpulnya
komunitas. "Berkumpul di suatu tempat dan dari situlah komunitas ini
menjadi sebuah rantai atau jaringan," paparnya.
(Lanang Wibisono, Erry Budi Prasetyo/CN26)
0 komentar:
Posting Komentar