Himpunan Mahasiswa Pendidikan Luar Sekolah

Himpunan mahasiswa PLS merupakan suatu wadah untuk menampung aspirasi dari mahasiswa Pendidikan Luar Sekolah dimana terdiri dari berbagai bidang seperti PSDM, Penalaran, Kewirausahaan, Kominfo, dan Senor.

Peringatan upacara HARDIKNAS di Rektorat UNY

Dalam rangka memperingati hari pendidikan nasional, seluruh karyawan dan pegawai Universitas Negeri Yogyakarta dan mahasiswa penerima beasiswa mengikuti upacara bendera.

Pantai

Pantai merupakan salah satu tempat wisata yang banyak dikunjungi oleh anak muda. Disinilah mereka melepas penat atas beban yang telah dilaluinya.

Kelompok Bermain (KB)

Kelompok Bermain (KB) Tunas Pertiwi yang berada di ds.Celungan Rt.04/ Rw.02, Sumberagung Moyudan Sleman memiliki potensi yang mampu mengembangkan kepribadian anak didik.

Keluarga

Keluarga merupakan suatu wadah sosial dimana tempat untuk bercurah antara suami, isteri dan anak. Dengan adanya keluarga, hidup akan tertata.

Selasa, 19 Juni 2012

"Omah Pasinaon" di Bejiharjo

Gunungkidul - Sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat, Fakultas Ilmu Pendidikan UNY bekerjasama dengan Bright Idea Foundation Indonesia mengadakan bakti pendidikan dan lauching smart school di Balai Dusun Bejiharjo, Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, Gunungkidul, Rabu (30/11). Kegiatan yang dinamakan ‘Omah Pasinaon’ atau rumah belajar ini diikuti siswa dari PAUD hingga SD sekitar.


“Jika selama ini mereka usai bersekolah hanya bermain, dengan adanya program ini diharapkan mampu memberikan pendidikan bagi anak-anak,” kata Yudan Hermawan salah satu mahasiswa UNY.

Program smart school ini direncanakan secara berkelanjutan seminggu dua kali. Sedangkan untuk karangtaruna juga diberikan pelatihan Bahasa Inggris.

Menurut Yudan, langkah ini juga salah satu bentuk pengabdian dan pelayanan masyarakat. Artinya jika sekarang siswa belum bisa mengikuti atau mengakses bimbingan belajar, dengan adanya partisipasi mahasiswa ditargetkan mampu memberikan dorongan agar siswa terbiasa belajar usai pulang dari sekolah.

“Antusias masyarakat cukup bagus, bahkan banyak yang mengikuti program ini. Sehingga kemampuan anak akan lebih cepat berkembang,”ucapnya.

Adhita Ketua BIFoundation Indonesia menambahkan, kehadiran program ini juga didukung pemerintah desa, sehingga ke depan pelaksanaanya bisa berjalan dengan lancar. Untuk kelanjutan program memang dijadwalkan seminggu dua kali.

“Untuk pertama nantinya dilakukan selama satu semester atau 6 bulan dan dilakukan evaluasi. Jika memang bagus tentunya bisa memberikan kontribusi bagi pendidikan di masyarakat,” jelasnya. (R-2/MC)

Fenomena Anak Jalanan


image
GENG COKOR: Beberapa anggota geng cokor yang terlibat kasus perampasan dan pembobolan di wilayah Semarang Barat di gelandang ke Mapolsek Semarang Barat beberapa waktu lalu. (suaramerdeka.com / Erry Budi P)
ANAK jalanan adalah sebuah istilah umum yang mengacu pada anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan. Tapi hingga kini belum ada pengertian anak jalanan yang dapat dijadikan acuan bagi semua pihak. Di tengah ketiadaan pengertian untuk anak jalanan, dapat ditemui adanya pengelompokan berdasar hubungan mereka dengan keluarga.
Salah satunya adalah anak yang menghabiskan seluruh atau sebagian besar waktunya di jalanan dan tidak memiliki hubungan atau memutuskan hubungan dengan keluarganya. Aktivitas sekumpulan anak jalanan yang di Kota Semarang memiliki ciri berpakaian lusuh, hidup di jalan, usia remaja dan biasanya tidak mengenakan alas kaki alias nyokor saat ini terus merebak.
Khususnya di pusat-pusat kota dan di jalanan, keberadaan mereka sangat mudah dijumpai.  Tapi sayangnya, tak sedikit di antara mereka yang perilakunya meresahkan warga. Warga Kampung Palgunadi, Kelurahan Bulu Lor, Semarang Utara misalnya, banyak warga yang mengaku resah akibat kampungnya menjadi tempat berkumpul anak jalanan.
Selain nongkrong sampai larut malam, para ABG tersebut juga kerap menggelar pesta minuman keras (miras). “Kalau sudah kumpul banyak, apalagi sampai ada yang bawa miras dan minum di sekitar taman perempatan Palgunadi pasti suasana jadi ramai. Ini sudah mengganggu ketenangan warga yang ingin istirahat,” kata Winarto, warga Palgunadi saat acara reses Wakil Ketua DPRD Kota Semarang Supriyadi di Kantor Kelurahan Bulu Lor, Kecamatan Semarang Utara, Jumat (4/5).
Dari pengamatan warga, rata-rata para ABG tersebut berasal dari luar wilayahnya. Mereka mulai berdatangan ke taman Palgunadi sekitar pukul 19.00 WIB dan bubar jelang pagi. Berulangkali warga sudah meminta untuk tak beraktivitas di daerah itu, namun peringatan itu tak digubris.
“Kami minta perhatian dari para petugas keamanan, khususnya dari kepolisian, agar bisa menertibkan anak jalanan yang semakin banyak. Tak hanya di kampung ini, tapi juga di daerah lain,” ujarnya.
Berbuat Onar
Tak hanya di daerah Bulu Lor, fenomena anak jalanan juga merebak di wilayah-wilayah lain di Kota Semarang. Kekhawatiran warga atas aktivitas anak jalanan ini memang bukan tanpa alasan. Track record remaja yang kebanyakan putus sekolah itu cukup nggegirisi.
Selain kerap membuat keonaran dengan melakukan pemalakan sejumlah pelajar usai jam sekolah, mereka juga kerap adu fisik dengan kelompok lain. Khususnya saat digelar konser musik di tempat umum. Pihak kepolisian juga kerap menangani kasus kriminal jalanan yang melibatkan di antara mereka.
Wakil Ketua DPRD Supriyadi meminta persoalan ini menjadi perhatian serius aparat kepolisian. Sudah tidak sekali dua kali para ABG dengan ciri tertentu ini membuat keonaran dan terlibat aksi pidana jalanan. Pihaknya juga meminta peran aktif dari Dinas Pendidikan untuk mengantisipasi semakin banyaknya remaja yang memilih turun ke jalan.
“Yang terpenting adalah bagaimana peran keluarga, khususnya orang tua. Karena tak bisa dipungkiri, rata-rata anak jalanan ini adalah mereka yang berasal dari keluarga broken home. Mereka tidak mendapatkan perhatian di keluarganya dan akhirnya mencari pelampiasan di jalanan,” kata dia.
Belum lama ini, Kapolrestabes Kota Semarang Kombes Elan Subilan mengakui tentang fenomena merebaknya anak jalanan. Salah satu yang menonjol dan pernah ditanganinya adalah kasus geng cokor. Diakuinya pula, perilaku gang cokor cukup meresahkan masyarakat.
Hal itu, kata dia, dilihat dari tingkah laku serta sebab akibat yang dilakukan pada komunitas tanpa alas kaki ini.  "Perampasan, pengroyokan serta tindak kriminal jalanan lain acap dilakukan oleh mereka (geng cokor-red)," katanya.
Menurutnya, anggota geng cokor berjumlah sekitar ratusan, rata-rata berusia antara 14 hingga 23 tahun dan sering mangkal di jalanan maupun tempat lain yang nantinya dijadikan base camp atau tempat berkumpulnya komunitas. "Berkumpul di suatu tempat dan dari situlah komunitas ini menjadi sebuah rantai atau jaringan," paparnya.
(Lanang Wibisono, Erry Budi Prasetyo/CN26)

Selasa, 12 Juni 2012

Pawai menyambut pearyaan "PERSIBA masuk ISL"