MANFAAT PENDIDIKAN
PANCASILA SEBAGAI PEMBANGUN KARAKTER BANGSA
NAMA : SITI KALIMAH
NIM : 10102241018
FAKULTAS: FIP
PRODI: PLS A
Abstrak : Enam puluh
lima tahun yang lalu, tepatnya tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno dalam pidatonya
telah mengusulkan dasar falsafah Negara
Indonesia. Dasar falsafah Negara yang lima inilah yang diperkenalkan oleh
beliau -yang istilahnya diperoleh dari ahli bahasa, Mr. Muh. Yamin- sebagai
Pancasila. Selama itu juga Pancasila telah dipandang sebagai sistem filsafat,
etika (moral) politik, dan Ideologi Nasional. Sebagai ideologi terbuka, yang
pertama kali diperkenalkan oleh Soeharto pada 10 November 1986, Pancasila
dituntut untuk menyesuaikan diri terhadap perkembangan zaman yang senantiasa
dinamis tanpa mengesampingkan nilai-nilai dasarnya yang tetap. Nilai-nilai luhur
yang telah dirumuskan oleh para pendiri bangsa,semestinya merekat erat sebagai
karakter bangsa ini. Ini dikarenakan Pancasila merupakan dasar negara sekaligus
sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia. Akan tetapi, terkadang suatu teori
atau konsep sangat bertentangan dengan prakteknya secara nyata. Nilai-nilai
luhur Pancasila telah ternoda oleh perilaku korupsi pejabat, pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM), usaha-usaha disintegrasi bangsa, para politisi busuk yang
senantiasa melakukan kecurangan dan yang paling menyesakkan adalah
pengkhianatan terhadap keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan
karakter bangsa sudah menjadi harga mati pada masa ini. Perilaku-perilaku menyimpang
yang telah membudaya hanya dapat diberantas secara tuntas dengan mengubah pola
pikir dan karakter pelaku. Terkadang, sulit untuk menentukan parameter yang
sesuai untuk itu. Terlebih dengan kemajemukan bangsa Indonesia.
Kata kunci:
*nilai-nilai luhur
*dogma
*falsafah
*karakter
|
|
|
|
A.PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pancasila adalah dasar filsafat negara republik Indonesia
yang secara resmi disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 dan tercantum
dalam pembukaan UUD 1945, diundangkan dalam Berita Republik Indonesia tahun II
no. 7 bersama- sama dengan batang tubuh UUD 1945.
Pada dasarnya pancasila yaitu jati
diri bangsa Indonesia, sebagai falsafah, ideologi, dan alat pemersatu bangsa
Indonesia. Pancasila merupakan pandangan hidup, dasar negara, dan pemersatu
bangsa Indonesia yang majemuk. Mengapa begitu besar pengaruh Pancasila terhadap
bangsa dan negara Indonesia? Kondisi ini dapat terjadi karena perjalanan
sejarah dan kompleksitas keberadaan bangsa Indonesia seperti keragaman suku,
agama, bahasa daerah, pulau, adat istiadat, kebiasaan budaya, serta warna kulit
jauh berbeda satu sama lain tetapi mutlak harus dipersatukan.
Pancasila adalah jati diri bangsa Indonesia dan jiwa seluruh rakyat
Indonesia yg membimbing bangsa Indonesia menjadi bangsa yang luhur dan memiliki
kepribadian yang khas. Pancasila berasal dari diri bangsa Indonesia itu sendiri sehingga pancasila tidak bisa
dipisahkan dari bangsa Indonesia. Oleh sebab itu perlu adanya tindakan nyata
dari rakyat Indonesia untuk menghayati dan mengamalkan semua cita-cita mulia
bangsa Indonesia yang sudah tercantum dalam
setiap sila.
Salah satu agenda penting dalam upaya mengatasi krisis dalam kehidupan
bangsa kita adalah melalui pendidikan karakter, pendidikan nilai, pendidikan
moral, pendidikan akhlak, serta pendidikan budi pekerti.
2. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pendidikan membangun karakter?
2. Mengapa karakter tidak dapat dipisahkan
dengan sikap atau perilaku?
3. Mengapa saat ini perilaku menyimpang
sudah membudaya di Negara Indonesia?
B.PEMBAHASAN
1. Pendidikan Pancasila
Pada hakekatnya pendidikan Pancasila adalah upaya sadar diri suatu
masyarakat dan pemerintah suatu Negara untuk menjamin kelangsungan hidup dan
kehidupan generasi penerusnya, selaku warga masyarakat, bangsa dan Negara
secara berguna (berkaitan dengan kemampuan spiritual) dan bermakna (berkaitan
dengan kemampuan kognitif dan psikomotorik) serta mampu mengantisipasi hari
depan mereka yang senantiasa berubah dan selalu terkait dengan konteks dinamika
budaya, bangsa, Negara, dan hubungan internasionalnya.
2. Jati Diri,
Kepribadian dan Karakter
Jati diri adalah ”diri yang sejati/sejatinya diri”. Secara budaya adalah
”ciri bawaan sejak lahir/merupakan fitrah” yang menunjukkan siapa sebenarnya
diri kita secara ”fisik maupun psikologis”, bersifat bawaan sejak lahir (gift),
serta merupakan sumber dari watak/karakter dan totalitas kepribadian seseorang.
Karakter adalah ‘distinctive trait, distinctive quality, moral strength, the
pattern of behavior found in an individual or group’. Kamus Besar Bahasa Indonesia
belum memasukkan kata karakter, yang ada adalah kata ‘watak’ yang diartikan
sebagai: sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah
laku; budi pekerti; tabiat. Dalam risalah ini, dipakai pengertian yang pertama,
dalam arti bahwa karakter itu berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi
‘positif’, bukan netral. Jadi, ‘orang berkarakter’ adalah orang punya kualitas
moral (tertentu) yang positif.
Dengan demikian, pendidikan membangun karakter, secara
implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau
berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau yang baik, bukan yang negatif
atau yang buruk.
Peterson dan Seligman, dalam buku ’Character Strength and Virtue’ [3], mengaitkan secara langsung ’character strength’ dengan kebajikan. Character strength dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang membangun kebajikan (virtues). Salah satu kriteria utama dari ‘character strength’ adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi besar dalam mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang baik, yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain. Dalam kaitannya dengan kebajikan, Peterson dan Seligman mengidentifikasikan 24 jenis karakter.
Peterson dan Seligman, dalam buku ’Character Strength and Virtue’ [3], mengaitkan secara langsung ’character strength’ dengan kebajikan. Character strength dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang membangun kebajikan (virtues). Salah satu kriteria utama dari ‘character strength’ adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi besar dalam mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang baik, yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain. Dalam kaitannya dengan kebajikan, Peterson dan Seligman mengidentifikasikan 24 jenis karakter.
Kepribadian, merupakan penampilan (lebih ke psikologis)
seseorang yang terpancar dari karakter. Namun penampilan ini belum tentu
mencerminkan karakter yang bersangkutan, karena dapat saja tertampilkan sangat
bagus tetapi didorong oleh ”kemunafikan”. Dengan demikian untuk mengenal
seseorang secara lengkap diperlukan waktu, karena yang terpancar sebagai
lingkaran terluar adalah kepribadian yang bisa mengecoh, sementara lingkaran
kedua adalah karakter dan lingkaran terdalam adalah jatidirinya.
Secara visual hubungan antara jatidiri, karakter dan kepribadian
dapat digambarkan sebagai berikut:
- Dalam kasus Indonesia, krisis karakter, mengakibatkan bangsa Indonesia kehilangan kemampuan untuk mengerahkan potensi masyarakat guna mencapai cita-cita bersama. Krisis karakter ini seperti penyakit akut yang terus menerus melemahkan jiwa bangsa, sehingga bangsa kita kehilangan kekuatan untuk tumbuh dan berkembang menjadi bangsa yang maju bermartabat ditengah-tengah bangsa lain. Krisis karakter di Indonesia tercermin dalam banyak fenomena sosial ekonomi yang secara umum dampaknya menurunkan kualitas kehidupan masyarakat luas. Korupsi, mentalitas peminta-minta, konflik horizontal dengan kekerasan, suka mencari kambing hitam, kesenangan merusak diri sendiri, adalah beberapa ciri masyarakat yang mengalami krisis karakter.
- Korupsi, korupsi adalah salah satu bentuk krisis karakter yang dampaknya sangat buruk bagi bangsa Indonesia. Korupsi menjadi penghambat utama kemajuan ekonomi bangsa ini, dan pada gilirannya menjadi sumber dari berkembangnya kemiskinan di Indonesia. Dalam pergaulan internasional, posisi Indonesia sebagai salah satu negara yang terkorup di dunia telah menyebabkan bangsa ini kehilangan martabat di tengah-tengah bangsa lain. Korupsi terjadi karena orang-orang kehilangan beberapa karakter baik, terutama sekali kejujuran , pengendalian diri (self regulation), dan tanggung jawab sosial.Kesenangan merusak diri sendiri.
- Di samping korupsi, memudarnya karakter di Indonesia ditunjukkan oleh meningkatnya ‘kesenangan’ dari sebagian warganya terlibat dalam kegiatan atau aksi aksi yang berdampak merusak atau menghancurkan diri –bangsa kita- sendiri (act of self distruction). Ketika bangsa-bangsa lain bekerja keras mengerahkan potensi masyarakatnya untuk meningkatkan daya saing negaranya, kita di Indonesia sebagian dari kita malah dengan bersemangat memakai energi masyakat untuk mencabik-cabik dirinya sendiri, dan sebagian besar yang lain terkesan membiarkannya.
- Memecahkan perbedaan pendapat atau pandangan dengan menggunakan kekerasan, secara sistematik mengobarkan kebencian untuk memicu konflik horizontal atas dasar SARA, dan menteror bangsa sendiri adalah beberapa bentuk dari kegiatan merusak diri sendiri. Ini terjadi karena makin memudarnya nilai-nilai kemanusiaan yang mencakup semangat dan kesediaan untuk bertumbuh kembang bersama, secara damai, dalam kebhinekaan. Hipokrisi atau Kemunafikan. Di atas telah disampaikan bahwa Indonesia dipandang sebagai salah satu negara dengan tingkat korupsi tertinggi di dunia. Namun, di pihak lain masyarakat Indonesia nampaknya adalah masyarakat yang sangat rajin melakukan kegiatan keagamaan. Bahkan tidak jarang orang Indonesia membanggakan diri sebagai masyarakat yang hidupnya sangat religius, dan sepanjang yang saya ketahui, tindakan korupsi, atau mengambil yang bukan haknya atau milik orang lain, seperti juga mencuri, dilarang oleh semua agama. Sungguh sebuah ‘keganjilan’ bahwa masyarakat yang merasa riligius namun negaranya penuh korupsi. Lebih memprihantinkan lagi adalah bahwa menurut salah seorang penjabat KPK, lembaga negara yang paling korup adalah Departemen Agama . Apabila pernyataan tersebut didasarkan pada data yang dapat dipercaya, maka hal ini adalah contoh yang paling nyata dari hipokrisi di Indonesia, di samping sekian banyak contoh yang lain.
- Hipokrisi atau kemunafikan mengandung arti kepura-puraan atau menyuruh atau menasihati orang lain melakukan hal yang baik namun dia sendiri melakukan hal sebaliknya.
- Mentalitas makan siang gratis. Berkembangnya mentalitas ‘makan siang gratis’, adalah fenomena lain yang menunjukkan krisis karakter. Ini adalah sikap mental yang memandang bahwa kemajuan bisa diperoleh secara mudah, tanpa kerja keras, bisa dicapai dengan menandahkan tangan dan dengan menuntut kekiri dan kekanan.
- Kesenangan mencari kambing hitam. Kebiasaan menimpakan kesalahan kepada orang lain, merupakan salah satu karakter yang menghambat kemajuan. Ini bukan kekuatan, namun kelemahan. Di masa lalu kita masih sering mendengar banyak orang menyatakan bahwa sulitnya Indonesia mencapai kemajuan lama sesudah kemerdekaan adalah akibat ulah penjajah Belanda. Dalam mencari penyebab rusaknya ekonomi Indonesia sekarang kita punya kambing hitam baru, konpirasi Amerika Serikat, IMF, World Bank, dan akibat dominasi golongan minoritas. Seandainya sinyalemen itu benar, sebenarnya ada cara bertanya yang lain: ’Apa yang salah dengan bangsa kita yang menyebabkan kita beratus-ratus tahun bisa dijajah oleh Belanda -kerajaan yang sangat kecil dari jumlah penduduk dan luas wilayah; bisa menjadi korban konspirasi Amerika Serikat, IMF dan World Bank, dan kelompok mayoritas belum bisa menguasai sebagaian besar kegiatan ekonomi di Indonesia ? Pertanyaan terakhir ini jarang sekali dikemukakan, karena adanya arogansi bahwa ’kami selalu benar’. Akibatnya, bangsa kita kurang bisa belajar dari pengalamannya sendiri, dan kurang mampu berubah ke arah yang lebih baik karena merasa bahwa tak ada yang perlu diperbaiki pada diri kita.
Karakter itu bersifat dinamis, dapat berubah dari suatu periode
waktu tertentu ke periode lainnya, walaupun tidak mudah. Sebagai salah satu
contoh adalah, dulu sering dikatakan bangsa Indonesia sebagai bangsa Timur yang
mempunyai karakter sopan, santun, altruistik, ramah tamah, berperasaan halus dll
yang menggambarkan sebuah sikap atau perilaku yang mengindikasikan keluhuran
budi pekerti. Bagaimanakah kondisi sekarang? Banyak yang meragukan bahwa
karakter tersebut masih menjadi ikon Bangsa Indonesia.
Jauh-jauh di awal kemerdekaan kita, Bung Karno, Presiden RI pertama,
sudah mendengung-dengungkan istilah “nation and character building”. Artinya
ada kondisi karakter bangsa yang saat itu sudah ada, namun harus diubah. Jadi
bapak bangsa itu sudah mengidentifikasikan karakter yang dianggap negatif, sehingga
perlu diubah. Pencanangan perlunya membangun karakter atau watak bangsa sebagai
bangsa Indonesia baru sesungguhnya telah direalisasikan.
Karakter bangsa yang sudah terbentuk ratusan tahun sebagai pengabdi
kepada penjajah atau bangsa terjajah, pengabdi kepada raja-raja kecil yang
terkotak-kotak, pengabdi kepada kegelapan, tahyul, pengabdi kepada feodalisme,
dll yang semua itu tidak cocok lagi dengan arah perwujudan bangsa atau warga
negara Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bertaqwa, beradab, bersatu,
bermusyawarah, adil dan makmur. Jadi cuci otak, cuci hati, dan cuci kepercayaan
harus dilakukan untuk mencapai cita-cita proklamasi kemerdekaan Bangsa
Indonesia.
Indonesia merdeka tidak butuh pengabdi-pengabdi kepada hal-hal
diatas. Perlu bangsa yang berjiwa besar, nasionalis, berintegretas tinggi,
menjadi subyek di tanah air yang merdeka, setara dengan bangsa-bangsa lain di
dunia dll. Pokoknya jika menggunakan kata-kata yang saat ini populer adalah
bangsa yang ”oke”.
Jika kini kita mau membangun karakter bangsa, persoalannya adalah
karakter Bangsa Indonesia itu yang mana? Kalau karakternya orang Bali, Jawa,
Madura, Sunda, Minang, Batak, Bugis, Ambon, Irian, dll suku bangsa yang ada di
Indonesia, mungkin sudah ada. Tetapi kalau karakternya Bangsa Indonesia
tampaknya belum jelas. Bangsa Indonesia dapat dikatakan secara resmi terbentuk
ketika para pemuda dari berbagai suku bangsa yang antara lain tersebut di atas
pada tanggal 28 Oktober 1928 menyatakan sumpahnya yang kemudian dikenal dengan
“Sumpah Pemuda”, mengakui berbangsa yang satu Bangsa Indonesia, Bahasa
Indonesia dan tanah air Indonesia.
Jadi pada tahun 1928 secara
fisik bangsa Indonesia sudah terbentuk. Namun secara psikologis, sosial budaya,
ekonomi, dll karakter bangsa belum mengkristal, lebih-lebih ketika kita hendak
tetap menjaga kebhinekaan kita. Dulu, pada era orde baru dan orde lama
diajarkan bahwa Pancasila merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur budaya
bangsa. Jika hal ini kita pegang maka karakter bangsa Indonesia adalah
Pancasilais. Karena merupakan sebuah kristal budaya maka karakter itu maka
kelima sila tiu merupakan satu kersatuan, bukan satu-satu. Akan tetapi kini
Pancasila meskipun secara yuridis formal masih diakui sebagai dasar negara,
tetapi pamornya kalah dengan demokrasi. Karakter bangsa yang demokratis kini
lebih mengedepan.
Semestinya warna demokrasi di Indonesia mestinya berbeda dengan
demokrasi di negara lain. Memang perbedaan itu dapat terlihat, setidaknya
pelaksanaan demokrasi yang cederung berbau kekerasaan, pemaksaan, dan anarkhis.
Masalah lainnya, hampir semua karakter luhur itu bisa dimiliki oleh semua
manusia di dunia tanpa melihat suku atau bangsa apa. Misalnya karakter
altruistik mungkin saja tidak hanya menjadi ikon sebuah bangsa tetapi banyak
bangsa-bangsa di dunia yang berkarakter demikian. Jadi sesungguhnya karakter
itu hanya bersumber dari dua sifat khusus yaitu malaikat dan setan. Ada
karakter kemalaikat-malaikatan dan kesetanan. Dapat ditambahkan dalam kondisi
empirisnya campuran antara keduanya.
Di
sinilah kita semestinya kembali kepada nilai-nilai luhur bangsa yang terkandung
dalam Pancasila.Sebuah dasar negara seyogyanya tidak hanya dipelajari dan
dimengerti saja. Tetapi yang lebih dari itu adalah pelaksanaannya secara nyata.
Ideologi negara juga bukan hanya milik para penyelenggara negara ini tetapi
juga seluruh lapisan masyarakat. Kesangsian publik terhadap pelaksanaan
ideologi inilah yang mengundang isu-isu untuk mengganti dasar negara,
Pancasila
Sejalan dengan itu diperlukanlah Pendidikan Pancasila bagi masyarakat. Yang
perlu diperhatikan adalah Pancasila bukanlah suatu dogma. Pancasila bukanlah
kumpulan rangkaian aturan luhur yang harus dihafal. Bukan, bukan itu esensinya.
Pendidikan Pancasila adalah pendidikan perilaku. Suatu pendidikan yang 90% praktek
dan 10% teori. Pendidikan untuk terus mengembangkan nilai-nilai instrumen
Pancasila yang disesuaikan dengan keadaan bangsa saat ini tanpa mengesampingkan
nilai-nilai dasarnya.
Pancasila
yang telah ditetapkan sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia
sudah sepantasnya dijaga oleh seluruh rakyat Indonesia. Begitu pula dalam
pelaksanaannya, harus dilaksanakan dengan kesadaran dan kemauan sebagai bangsa
Indonesia. Hal ini diperlukan agar seluruh pengambil kebijakan tidak hanya
manis dalam konsep-konsep untuk membangun bangsa dan janji-janji manis untuk
mencapai tujuan bangsa tetapi juga solusi yang cespleng untuk
menghadapi permasalahan bangsa.
C.PENUTUP
1. Kesimpulan
Seorang dikenal kalau orang melihat porter ( gambarannya ). Gambar
kehidupan bangsa dapat dipelajari dan refleksi nilai-nilai dalam kehidupan
nyata. Itulah identitas atau tanda-tanda kehadiran dalam hidup bersama baik
secara individu maupun sebagai bangsa.
Tanda-tanda kehadiran dalam hidup bersama itu merupakan inti dan cirri
kepribadian bangsa Indonesia. Tanda-tanda itu dapat kita pelajari melalui
Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila. Tanda atau gambar itu yang
disebut karakter bangsa. Nilai-nilai hidup itu menunjukan diri dalam sikap dan
tingkah laku kemanusiaan. Nilai-nilai itu pula secara budaya merefleksikan diri
dalam atribut-atribut kebanggan bangsa dan merupakan identitas dan cirri
kepribadian bangsa.
Karakter merupakan suatu kualitas pribadi yang
bersifat unik yang menjadikan sikap atau perilaku seseorang yang satu berbeda
dengan yang lain. Karakter, sikap, dan perilaku dalam praktek muncul secara
bersama-sama. Sehingga sulit jika kita hanya akan melihat karakter saja tanpa
munculnya sikap atau perilaku. Oleh karena itu berbicara tentang karakter tidak
dapat dipisahkan dengan sikap atau perilaku, sebab karakter itu akan muncul
ketika orang berinteraksi dengan orang lain atau makhluk cipataan Allah
lainnya. Secara psikologis konsepnya adalah konsep individual. Jika kemudian
hal tersebut menjadi suatu karakter bangsa maka perlu adanya acuan.
Artinya dari konsep individual menjadi sebuah konsep kemasyarakatan dan lebih luas lagi bangsa, maka haruslah ada instrumen sebagai alat evaluasi yaitu kebudyaan. Secara ringkas kebudayaan berisi sistem nilai, norma dan kepercayaan. Budaya dikembangkan dan diamalkan oleh masyarsakat pengembangnya, sehingga anggota masyarakat dalam wilayah budaya tersebut memiliki kecenderungan yang sama dalam hal mengamalkan sistem nilai, norma dan kepercayaan mereka.
Dengan demikian dalam konteks ini budaya dapat dianggap sebagai instrumen untuk melihat kencenderungan perilaku pengembangnya. Dari kedua konsep di atas, maka dapat dikemukakan bahwa perilaku merupakan resultan dari berbagai aspek pribadi dan lingkungan. Jadi berbicara tentang karakter merupakan konsep psikologi dan kebudayaan.
DAFTAR PUSTAKA
http://fansbuku.blogspot.com/2010/06/manfaat-pendidikan-pancasila.html#ixzz16lvVGVxP(Selasa,
28-12-2010 09:28:10) http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=17083 (Selasa, 28-12-2010 09:22:50)
http://www.tugaskuliah.info/2010/01/manfaat-pendidikan-pancasila-dalam.html (Kamis, 30-12-2010 12:29:50)
http://bk3sjatim.org/?p=1178(Kamis, 30-12-2010
13:10:12)
Laboratorium Pancasila IKIP Malang.1981.Pancasila dalam
Kedudukan dan Fungsinya Sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa.Usana
Bandung.
Rukiyat, M.Hum., dkk.2008. Pendidikan Pancasila.Yogykarta: UNY Press
0 komentar:
Posting Komentar